Sunday, March 29, 2009

Welfare State


Welfare State alias negara kesejahteraan, negara yang menjamin kesejahteraan rakyatnya, menjadi impian Partai Buruh, yang dapat diwujudkan melalui lima pilar kenegaraan, yakni demokrasi, penegakan hukum, perlindungan hak asasi manusia, keadilan sosial, dan anti diskriminasi. Hal itu pula yang menjadi cita-cita calon legislatif Ericson Sintong M. Hutabarat S.Sos, yang bertarung untuk menembus Senayan melalui Dapil Jawa Barat VI Kota Bekasi dan Kota Depok, pada nomor urut 2 di partai bernomor 44 ini.

“Buruh itu tidak hanya yang bekerja di pabrik, tapi setiap orang yang bekerja dan mengharapkan gaji. Ayo dukung kami,” ujar Ericson yang program kerjanya jika berhasil masuk sebagai anggota DPR adalah merevisi UU No.13 tentang Ketenagakerjaan, meningkatkan pendidikan dan keterampilan buruh dan pekerja, mendorong terciptanya lapangan kerja baru, memperjuangkan rumah sehat dan layak untuk pekerja dengan subsidi uang muka, serta memperjuangkan hak buruh berserikat dan mengikuti Jamsostek. (BO/NL)

Sekapur Sirih


Rupanya sedikit narcis, namun saya harus membuat sebuah Blog agar semua kita bisa dengan mudah mengenal lalu berkomunikasi satu dengan yang lain. Tidak lebih tidak kurang memperkenalkan diri kehadiran masyarakat, adalah salah satu cara memberi diri dalam tanggung jawab hidup bersama. Dari sana segala hal bisa dihubung-hubungkan untuk bersama membumikan kehidupan bersama dalam keindonesiaan yang kita cintai.

Ada kesibukan baru yang saya dapatkan menjelang pemilihan umum 2009. Kesibukan itu, lantaran oleh Partai Buruh, saya dinominasikan menjadi caleg DPR RI Dapil Jawa Barat VI Kota Bekasi & Depok dengan no. urut 2. Ini tentu bukan soal ikut-ikutan meramaikan pesta demokrasi walaupun kesan itu juga tidak mungkin dihindarkan. Namun jauh dari itu, ini adalah kesempatan dimana semua kita dengan cara kita sendiri mengambil bagian dalam persoalan bangsa, negara dan tanah air.

Partai Buruh no 44, yang kini merupakan pilihan saya memasuki Pemilu 2009, bagi saya adalah pilihan sadar mengingat di tengah lautan persoalan bangsa ini, persoalan buruh memang tidak banyak mendapat perhatian. Sekalipun, dulu ataupun sejak rasa berkesadaran partai muncul dalam benak dan pikiran, saya juga terlibat dalam aktivitas berpartai kendati bukan dari Partai Buruh. Pernah saya ditawari menjadi calon legislatif (caleg) di tiga partai lain, namun pengalaman serta kedekatan saya di masa lalu dengan dunia kaum buruh membuat saya merasa harus memperjuangkan nasib buruh yang selama ini terpinggirkan.

Terlahir di tengah keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, membuat saya tidak bisa tinggal diam ketika melihat ketidakadilan yang dialami kaum buruh di negeri ini. Perang batin tersebut sering saya rasakan ketika dulu bekerja sebagai staff administrasi personalia di sebuah pabrik permen. Setiap harinya seringkali terjadi hal-hal yang ‘kurang manusiawi’. Pernah saya menyaksikan betapa seorang buruh perempuan yang tengah hamil 7 bulan dipecat hanya karena kesalahannya mengambil dua bungkus permen. Saya tidak bisa tinggal diam begitu saja dan sebagai wujud protes saya, akhirnya saya harus hengkang dari perusahaan tersebut.

Dalam aktivitas keseharian, saya lebih banyak bekerjasama dengan para buruh. Ini juga mempertemukan saya dalam pergerakan dengan Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI). Kebersamaan tersebut dimulai sejak tahun 1996-an, saat Muchtar Pakpahan yang dulu merupakan ketua SBSI menjadi tahanan politik rezim Orde Baru.

Ketika masih kuliah di Fakultas Ilmu Politik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, saat itu juga saya bergabung dengan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jakarta Raya. Saya berkenalan dengan salah seorang pendiri SBSI, DP Yuda yang juga senior saya di GMNI, saat itu wartawan Kompas. Sekalipun ketika itu, berprofesi sebagai mahasiswa, namun dalam pikiran dan tindakan yang bebas, saya tidak dapat menyembunyikan kerisauan dan kegundahan atas apa yang dialami oleh kaum buruh kita. Tidak ada jalan lain, kecuali membangun kembali solidaritasnya yang konsisten pada kaum buruh. Melalui berbagai kegiatan memperingati Hari Buruh Internasional—May Day misalnya, solidaritas itu pun ditampakkan untuk bergulir menjadi aksi yang lebih terarah dan bermanfaat bagi banyak orang.

Melangkah Menuju Calon Anggota DPR

Mungkinkah kedekatan-kedekatan dengan persoalan buruh menjadikan saya melangkah menjadi calon anggota DPR dari Partai Buruh? Ada persoalan yang jauh lebih besar dari itu, yaitu bagaimana tindakan politis oleh negara dapat mewadahi keadilan dalam ruang-ruang pengap mesin-mesin yang melingkupi kerja keseharian para Buruh.

Berbekal pengetahuan politik, pengalaman organisasi, keterlibatan dalam pergerakan mahasiswa 1998, dan kemudian terlibat dalam pemantauan kinerja DPR, saya mulai memahami bahwa perjuangan buruh harus terwakili dalam pencaturan politik penyusun kebijakan politik. Saya tidak menutup mata bahwa wakil rakyat yang saat ini, adalah mereka yang kurang cukup memahami persoalan buruh. Dan, dengan tidak adanya keterhubungan secara langsung dengan Partai Buruh, menyebabkan pengetahuan dan pengalaman selalu tidak menemukan titik pijak.

Ada soal lain dalam hubungan dengan kinerja para wakil saat ini, yakni menyangkut sistem yang mengatur bekerjanya lembaga perwakilan itu. Dalam pemantau bersama sejumlah peneliti dari Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), saya melihat dari dekat, begitu banyak kebobrokan walau hanya sedikit yang terungkap di media massa. Banyak dari wakil rakyat yang tidak secara maksimal dapat mewujudkan dirinya benar-benar sebagai wakil rakyat. Waktu-waktu rapat yang sering molor, partaisipasi masyarakat yang sangat minim, transparansi dan akuntabilitas yang rendah, semua dapat menyebabkan semakin jauhnya harapan kita akan suatu perwujudan keadilan yang maksimal.

Wakil rakyat kedepan dalam pandangan saya, adalah seorang wakil rakyat yang berani mengambil jalan berjuang bersama rakyat (buruh, petani, nelayan, kaum miskin kota, PKL dan pengangguran). Melalui partai politik yang benar-benar mempunyai keberpihakan pada soal kenegaraan, disanalah para wakil rakyat itu dapat meminimalkan godaan untuk membangun ”monumen” dirinya semata. Dan di dalam Patai Buruh sendiri ternyata sudah ada mekanisme pengawasan internal di mana wakil rakyat dari Partai Buruh diwajibkan untuk memberi laporan pertanggungjawaban politik minimal 6 bulan sekali terhadap satuan tingkatan yang ada. Karena saya dari Dapil Kota Depok dan Bekasi maka diwajibkan memberi laporan pada DPC tersebut.

Sebagai orang muda saya berpendapat kehadiran para caleg muda adalah salah satu cara memperbaharui dan memperbaiki citra DPR untuk mengadakan perubahan-perubahan yang lebih berpihak pada kepentingan rakyat. Sebutlah beberapa nama caleg seperti Budiman Sujatmiko dari PDIP, Dita Indah Sari dari PBR, Indra J Piliang dari Golkar juga beberapa yang lain diharapkan bisa merubah tradisi ‘jahiliah’ yang selama ini terus diwariskan dari generasi ke generasi.

Di tengah apatisme publik saat ini, kerja yang cukup memberatkan adalah mengangkat kembali harapan rakyat akan suatu lembaga perwakilan yang dapat memperjuangkan rakyat. Kita harus tetap berjuang sebagai bukti bahwa kita masih punya harapan. Dan kita harus tetap berharap sebagai bukti bahwa keindonesiaan yang kita rajut adalah modal kita bersama membangun kesejahteraan bersama.

Agenda Ke Depan

Sebagai visi politik saya ke depan adalah (a) Membangun sebuah kekuatan baru. Saya yakin kekuatan buruh yang lebih teroganisir berpotensi menjadi kekuatan yang sangat besar. (b). Melahirkan DPR baru, DPR yang progresif. Di mana selama ini DPR kita lebih sering jadi pengikut dari partai yang lebih dominan. Walaupun ada perlawanan tapi hanya perlawanan semu. Selain itu, progresif di sini artinya juga melenyapkan tradisi suap dalam DPR yang baru, juga menghapuskan gaya hidup mewah yang selama ini sudah menjadi trademark. Dan (c) Komitmen tersebut akan saya buktikan kepada para buruh, bila terpilih nanti saya akan mengendarai motor ke gedung DPR selama bertugas 5 tahun.

Sementara itu selain menjalankan misi Partai Buruh, ada sebuah keinginan pribadi yaitu, masuk di Komisi 5 yang bermitra dengan Departmen Pekerjaan Umum, Perumahan Rakyat dan Perhubungan. Saya melihat ada tiga persoalan penting yang berhubungan dengan buruh.

Khusus untuk Kementrian Perumahan Rakyat, saya ingin melahirkan sebuah Undang-Undang dan Anggaran yang saling terkait, yang mengatur buruh atau pekerja yang minimal sudah bekerja tiga tahun mendapat subsidi uang muka terhadap kredit kepemilikan rumah susun yang sehat dan layak. Karena pada kenyataannya saat ini, walau para buruh sanggup membayar cicilan bulanan tapi tidak sanggup membayar uang muka yang cukup berat dan hanya boleh dicicil 3 kali selama 3 bulan.

Sedangkan untuk Kementrian Pekerjaan Umum, saya menginginkan adanya koordinasi dengan Kementrian Perumahan Rakyat sehingga di mana ada kompleks perindustrian maka didekatnya juga ada kompleks hunian. Hendaknya hal tersebut menjadi program yang diintegrasikan.

Juga dalam hal ini berkaitan dengan Departemen Perhubungan untuk membuat sarana jalan dan transportasi yang menghubungkan tempat kerja dan hunian tersebut. Seharusnya pemerintah bisa mendisain pola transportasi yang memadai paling tidak untuk 50 tahun kedepan. Sehingga para buruh atau pekerja memperoleh kenyamanan saat menuju tempat kerja maupun ketika pulang, dengan begitu akan mendorong peningkatan kinerja para buruh atau pekerja tersebut.

Selain itu, Departemen Perhubungan punya persoalan transportasi tahunan yang terus berulang setiap tahunnya, dimana setiap H -7 dan H+7 Lebaran menjadi hari-hari suram bagi para buruh atau pekerja yang ingin mudik menggunakan transportasi massa.

Saya juga berniat untuk membuat sebuah pusat informasi buruh atau Rumah Aspirasi Kaum Buruh yang berfungsi untuk menampung aspirasi-aspirasi buruh/rakyat. Selain sebagai akses atau saluran untuk menyampaikan aspirasi buruh kepada anggota dewan, juga untuk menampung informasi tentang kondisi buruh dan rakyat secara aktual. Sehingga bisa menjadi bahan kajian bagi saya dalam memperjuangkan kepentingan buruh atau pekerja dan seluruh rakyat Indonesia.

Sunday, March 15, 2009

Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia


Pada tahun 1921, harga gula, komoditas andalan Belanda di tanah jajahannya jatuh di pasaran Dunia. Pemodal Belanda yang mengalami kerugian cukup besar terpaksa harus menekan ongkos produksi secara besar-besaran, diantaranya adalah dengan memangkas upah buruh. Buruknya kondisi kerja waktu itu memicu pergolakan aksi buruh. Hingga dalam rentang waktu 1917-1926 intensitas aksi meningkat. Salah satunya adalah aksi pelaut dan kuli pelabuhan di Surabaya yang dimotori oleh Red Guardist (Barisan Merah). Pemogokan ini dihentikan oleh tentara kolonial dengan penembakan banyak buruh.

Pemogokan lain terjadi di VSTP (Serikat Buruh Kereta Api) yang dimotori oleh Serikat Islam Semarang, di Serikat Buruh Penggadaian, Mesin Jahit, Kapal Uap dan Pelabuhan. Karena muatan politik dalam pemogokan cukup kental, yakni untuk melawan penjajahan, membuat pemerintahan kolonial mengeluarkan UU larangan mogok, artikel 161 bis Buku Hukum Pidana, yang dikeluarkan tanggal 10 Mei 1923. Pemogokan-pemogokan yang banyak terjadi di masa itu sering berakhir dengan pemecatan, penembakan dan pembuangan aktifis-aktifis Serikat Buruh.

Isu pemogokan yang muncul pada masa itu serupa dengan isu saat ini, yakni seputar persoalan upah, tunjangan dan penyelesaian perselisihan buruh dan majikan. Sejak itu buruh juga sudah mendapati respon represif pemerintah atas aksi yang mereka lakukan.

Bagaimana awal gerakan buruh di Indonesia? Buku ini mencoba menjawab pertanyaan itu. Buku yang sudah cukup lama ini tetap menarik untuk dibaca karena sarat dengan deskripsi konteks situasi ekonomi-politik berbagai

peristiwa penting dalam sejarah gerakan buruh. Oleh penulisnya, buku ini dibagi kedalam dua bagian yaitu Rasa Kebangsaan Mendorong Perkembangan (1879-1942) dan tahun 1945-sekarang (1961, tahun penerbitan buku ini).

Bagian pertama diawali dengan munculnya serikat buruh guru Bahasa Belanda tahun 1878 yang dipengaruhi oleh pergerakan sosial demokrat di Belanda. Pada masa itu serikat buruh tampil sebagai organisasi golongan. Organisasi ini hanya menampung kulit putih. Peran organisasi politik di masa itu juga disinggung sebagai pemercik api kebangsaan yang mendorong terbentuknya serikat buruh kaum pribumi. Organisasi itu adalah Serikat Islam yang didirikan tahun 1912 dan ISDV yang didirikan tahun 1914.

Timbulnya pergerakan buruh di kalangan bangsa kita sebenarnya merupakan suatu aksi yang muncul dari harga diri kebangsaan yang dikobarkan partai politik. Dan tidak heran dalam perkembangannya, pasang-surut pergerakan buruh sebagian ditentukan oleh gelombang politik kebangsaan dalam perjuangan pembebasan diri dari kungkungan kolonialisme.

Masa selanjutnya adalah masa berorganisasi. Masa ini, menurut Sandra, diwarnai oleh bersatunya pegawai pemerintah dengan pegawai partikelir dan golongan pekerja Eropa dengan pekerja pribumi. Cikal bakal organisasi buruh lahir dalam kongres IV Serikat Islam (SI) di Surabaya. Dari kongres itu lahir sebuah federasi buruh bernama PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh). Alimin, Semaoen dan Soerjopranoto menjadi pengurus federasi ini. Dalam program umumnya, PPKB menetapkan negara sebagai pelaksana perintah rakyat dan berfungsi untuk mempersatukan kaum buruh untuk mengubah nasibnya. Gerakan organisasi yang berumur pendek ini sarat muatan politisnya, namun tetap dilakukan untuk mendukung aksi-aksi ekonomi buruh.

Pada kongres V dan VI, dua-duanya diadakan pada tahun yang sama, SI memutuskan untuk membersihkan organisasi dari orang-orang yang tidak sealiran. Pada tahun 1920, PKI didirikan oleh Semaoen dan Alimin, anggota SI yang terkena pembersihan. Perpecahan PPKB melahirkan Revolutionaire Vakcentrale (RV) yang diketuai Semaoen, pengurus VSTP Semarang. Organisasi inilah yang kemudian menjadi cikal bakal gerakan buruh progresif di Indonesia.


Pada tahun 1921, Malaise menjadi kosa kata yang populer. Pemerintah kolonial memasuki kelesuan ekonomi. Rasionalisasi perusahaan terjadi dimana-mana. Aksi pemogokan banyak terjadi. Di masa ini pemerintah kemudian mensahkan artikel 161 bis. Pemerintah juga mengaktifkan kantor Pengawasan Perburuhan yang berada dibawah Departemen Kehakiman. Ia punya bagian yang secara terpusat mengawasi pergerakan serikat buruh dan mengamati kebutuhan dikeluarkannya peraturan hukum baru menyangkut perburuhan.

Bagian barikutnya adalah bagaimana serikat-serikat buruh membangun jaringan internasional. Dari golongan bangsa Indonesia, RV membangun hubungan dengan Profintern (Red International Labour Union) dan menjadi anggotanya pada tahun 1923. RV hadir dalam konferensi Profintern tahun 1924 di Kanton, yang menyepakati pembentukan biro Red Eastern Labour Union.

Pada tahun 1922, PPKB dan RV berhasil membangun aliansi yang bernama PVH (Persatuan Vakbond Hindia). PVH ini hanya bertahan sampai tahun 1926 akibat dari kegagalan aksi politik PKI tahun 1926 yang disusul penangkapan besar-besaran terhadap aktivis RV. Setelah itu gerakan buruh memasuki masa sepi, sampai dengan tahun 1927.

Sesudah organisasi-organisasi buruh mulai muncul kembali, meskipun tidak seprogresif sebelumnya. Organisasi-organisasi ini terus aktif sampai pecah perang dunia kedua. Pada saat pecah PD II, pemerintah membentuk panitia untuk mengurus soal-soal perburuhan yang terdiri dari wakil pemerintah, majikan dan buruh. Panitia ini bertugas menyelesaikan perselisihan perburuhan. Langkah ini diambil karena pemerintah kolonial perlu menjamin beroperasinya perusahaan-perusahaan yang berperan vital dalam perang.


PASCA KEMERDEKAAN

Euforia kemerdekaan mendorong kelahiran berbagai organisasi di masyarakat. Dari mulai organisasi persatuan yang sederhana sampai organisasi bersenjata. Sandra menamai babak ini sebagai masa merintis pergerakan buruh yang tersusun. Pada tanggal 15 September 1945, lahir sebuah organisasi massa

buruh yang bernama BBI (Barisan Buruh Indonesia). BBI mengutamakan barisan buruh untuk memudahkan mobilisasi oleh serikat sekerja dan Partai Buruh.

Dalam kongresnya pada bulan September 1945 yang dihadiri oleh kaum buruh dan tani, tercetuslah Partai Buruh Indonesia. BBI juga sepakat untuk menuntaskan revolusi nasional. Untuk mempertahankan tanah air dari serangan musuh, BBI membentuk Laskar Buruh bersenjata di pabrik-pabrik. Untuk kaum perempuan dibentuk Barisan Buruh Wanita (BBW).

Pada tahun 1946, BBI dilebur menjadi GASBI (Gabungan Serikat Buruh Indonesia). Serikat buruh yang tidak sepakat dengan struktur GASBI keluar dan membantuk GASBV (Gabungan Serikat Buruh Vertikal). Tetapi pada bulan November, tahun yang sama, atas usaha Alimin dan Harjono, GASBI dan GASBV berhasil dilebur menjadi SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia).

SOBSI adalah kemajuan besar dalam gerakan buruh. Organisasi ini berhasil mengkonsolidasi 34 pusat serikat buruh. SOBSI menyatakan diri bukan sebagai partai politik tetapi dalam menjalankan aksinya, buruh tidak mungkin terlepas dari gelombang politik. SOBSI dalam perjuangannya akan bekerja sama dengan golongan dan partai politik yang sehaluan. Bentuk organisasinya adalah demokratis sentralisme. Pengurus sentral dalam melakukan kewajibannya harus bertanggung jawab kepada kongres. Pada tahun 1948, SOBSI sempat mengalami perpecahan akibat perbedaan sikap dalam menanggapi perjanjian Renvile. Tetapi tidak lama kemudian SOBSI berhasil kembali mengkonsolidasikan pecahan-pecahannya. Bahkan dalam pernyataan politiknya tahun 1948, SOBSI kemudian menegaskan menolak perjanjian Renvile.

Berikutnya buku ini juga menceritakan perkembangan serikat-serikat buruh di daerah semasa Republik Indonesia Serikat. Juga aliansi bersama seluruh induk serikat buruh yaitu Himpunan Serikat-Serikat Buruh Indonesia (HISSBI). SOBSI kemudian menyatakan keluar dari HISSBI karena perbedaan garis politik. Segala bentuk perbedaan menggiring kearah diferensiasi aliran persatuan-persatuan serikat buruh yang ada. Tiga aliran yang dominan adalah kiri, nasionalis dan Islam. Gerakan buruh kiri direpresentasikan oleh SOBSI,

tapi SOBSI bukanlah bagian dari partai politik. KBKI (Konsentrasi Buruh Kerakyatan Indonesia) yang memang bagian dari PNI dan Serikat Buruh Muslim Indonesia yang merupakan bagian dari Masyumi.

Pada tahun 1957, Soekarno mengeluarkan dua konsepsi mengenai kabinet karya dan dewan nasional. Kabinet karya ini adalah kabinet eksekutif yang menampung orang-orang di parlemen dan partai politik. Dewan Nasional berisi badan penasehat dari kekuatan di luar parlemen. Dewan nasional adalah golongan fungsional , alat demokrasi, penggolongan warga negara Indonesia menurut tugas pekerjaanya dan lapangan produksi dan jasa dalam melaksanakan cita-cita proklamasi.

Buruh sebagai golongan fungsional mendapatkan tempat di Dewan Perancang Nasional. Dewan yang menyiapkan rencana pembangunan semesta jangka panjang (hal 139). Anggota Dewan ini 77 orang, dan dari 77 itu ada lima wakil angkatan buruh/pegawai yaitu dari SOBSI, SOBRI,RKS dan dua orang dari KBKI. Sementara di Dewan Pertimbangan Agung, duduk dua orang wakil dari buruh yaitu dari SOBSI dan KBKI.


1959, Menghimpun kembali kekuatan sosial revolusi Indonesia

Pada tahun ini, Indonesia kembali ke UUD 1945. Dalam pidatonya, Soekarno menegaskan bahwa kita kembali ke jiwa revolusi dan tahun penemuan kembali revolusi. Manifestasi politik (Manipol) 17 Agustus 1959 ini diputuskan oleh DPA sebagai GBHN. Manipol menegaskan kekuatan kelas buruh dan kaum tani sebagai kekuatan pokok revolusi Indonesia. Manipol ini yang kemudian menjadi pemicu baru gerakan buruh dalam tugasnya memenuhi panggilan revolusi. (hal 144).

Pada masa ini, ada kecenderungan untuk menyederhanakan jumlah organisasi yang ada dan kehendak organisasi buruh untuk lepas dari partai politik. KBKI akhirnya terpisah dari PNI dan SBII terpisah dari Masyumi. Untuk memenuhi keingintahuan pembaca, penulis buku ini tidak lupa menyertakan lampiran-lampiran pernyataan politik SOBSI dan HISSBI serta lampiran program ormas SOBSI. Lampiran-lampiran ini menjelaskan latar belakang kondisi politik yang melahirkan gagasan-gagasan dalam gerakan buruh di Indonesia. (***)

Revolusi Kaum Buruh

Kami satu : buruh
kami punya tenaga
jika kami satu hati
kami tahu mesin berhenti
sebab kami adalah nyawa
yang menggerakkannya
(Wiji Thukul, “Makin Terang Bagi Kami”)
BILA buruh adalah konsekuensi sebuah ideologi, maka perjuangan kelas buruh menjadi niscaya, bukan wacana. Karenanya ada satu basis nilai yang kita lebih unggulkan dibandingkan dengan yang lain, sampai titik konsekuensi tertinggi seorang manusia, yakni mati, sebagai tumbal perjuangannya. Dalam hal ini, kematian bukan sesuatu yang ditakuti, tetapi dikejar, dituju, didamba, karena keyakinannya sudah mentok setiap yang bernyawa pasti mati. Tugas manusia yang masih hidup adalah bagaimana memperbarui kualitas hidup agar dapat meninggalkan memori indah bagi generasi selanjutnya.
Perjuangan, kematian, dan transendensi adalah sebuah rangkaian takdir kemanusiaan yang sambung menyambung. Kita punya pilihan untuk membela nasib manusia [yang kebetulan berprofesi] buruh sebagai tanggung jawab kemanusiaan kita. Ia punya nilai sakral. Itulah yang dilakukan oleh Chun Te-il, tokoh besar perjuangan buruh Korea. Ia mati muda akibat membakar diri dalam usia 22 tahun saat berhadapan dengan penguasa. Sehingga, masuk serikat bukan lagi wacana karena hanya melalui saluran itulah perjuangan buruh lebih bermakna. Setiap gerakan pasti berkonsekuensi ke darah daging juga sehingga teologi dan kultur kita meresap di dalamnya.
Ideologi buruh tidak hanya ditemui dan dirasakan dalam ruang rapat. Aksi peringatan May Day, audiensi dengan parlemen, atau training legislasi, itu semua cuma program teknis. Bentuk, besaran, dan dinamikanya bisa beragam. Kegiatan semacam itu bisa berlangsung karena mungkin akibat efek sentimentil buruh bergaji rendah. Bila kita bergaji belasan hingga dua puluhan juta rupiah perbulan, sedangkan pada saat yang sama UMR cuma Rp1 juta rupiah, belum tentu sebuah aksi buruh bisa terlaksana. Jangankan membuat kegiatan, sekadar berkumpul saja mungkin sulit. Akan muncul alasan-alasan pribadi agar kita dimaklumi untuk absen rapat atau mengadvokasi rekan buruh lain.
Artinya, alam bawah sadar kita masih dalam jaring kapitalisme. Ada posisi dalam struktur sosial yang kita nikmati dan tidak ingin kita ubah. Istilah Lenin, masih ada pikiran-pikiran borjuis dalam minda kita sehingga kita ambigu dalam bersikap. Perasaan ajeg dan mapan dalam kondisi ini disebut feodal, citra kapitlis dalam wajah kultural. Inilah penjara terbesar kita, dajjal atau iblisnya minda kita, yang menghambat kenapa gerakan buruh tidak muncul, apalagi militan dan progresif. Andai pun ada, hanya sporadis dan terakumulasi pada buruh bergaji rendahan, yang memang terpaksa melawan perilaku korporasi dan kebijakan negara sekeras mungkin daripada mati perlahan-lahan.
Buruh feodal itu bukan orang bodoh, bukan orang yang tidak punya kekuasaan struktural, bukan pula orang yang tidak punya hati nurani. Namun, watak ingin selamat sendiri dan perlakuan istimewa dari manajemen membuat rasa kemanusiaan hilang dalam sekejap. Apa yang bisa kita tuntut dari orang-orang yang kerjaannya pergi pagi pulang sore dari Senin hingga Jumat hanya untuk bekerja, dan Sabtu-Minggu untuk bercengkrama bersama keluarga?
Buruh penjilat yang pintar membaca situasi itu diistilahkan Chun Tae-il sebagai ‘orang pintar dan bijaksana’. Sedangkan Tae-il lebih memilih di posisi ‘orang bodoh’ yang mau begitu saja melawan manajemen. Tae-il ‘bodoh’ karena ingin nilai-nilai kemanusiaannya yang selama ini dirampas atas nama jam kerja yang panjang, gaji yang rendah, dan sistem yang tidak jelas, bisa dikembalikan ke ‘buruh bodoh’.
Korporasi pun juga tidak kalah gesitnya dalam menyiasati kondisi tersebut. Panggung musik dan kompetisi olahraga diadakan dalam menyambut hari buruh. Kesannya memang baik. Namun dibalik itu semua tersembul upaya memecah konsentrasi buruh agar mereka sibuk di tempatnya masing-masing dan tidak termobilisasi dalam sebuah aksi massa. Demontrasi adalah proses aktualisasi diri. Kapan lagi bisa bolos kerja dengan tenang, dan masuk TV pula?
Buruh pada dasarnya adalah tungku kapitalisme. Mereka bekerja bukan atas kemauannya sendiri. Keberadaan serikat buruh pun dalam konteks ini adalah keterpaksaan lanjutan sebagai konsekuensi ketertindasan. Serikat itu ada dalam hati buruh mulai pukul 08:00 hingga 17:00. Tapi setelah jam 17 hingga 7 pagi tidak ada serikat. Handphone yang off setibanya di rumah buruh bisa dimaknai sebagai ketidakinginan diusik dengan masalah industrial.
Realitas, basis ideologi
Ideologi tidak lepas dari tiga hal yang ketiga hal tersebut mengarah pada penyelesaian satu problem. Problemnya adalah realitas. Realitas adalah kenyataan. Mungkinkah kita dapat melepaskan diri dari kenyataan? Tidak mungkin. Pada saat yang sama, kita tahu bahwa kenyataan itu terbatas. Keterbatasan itu reduksi. Sebuah reduksi sangat dicurigai sebagai konstruksi, bikinan, rekayasa, manipulasi, ekspolitasi suatu sistem lain.
Bila kenyataan itu sesuatu yang terbatas, bagaimana mungkin kita tidak pernah bisa lepas dari kenyataan? Darimana kita bisa harus menganggap kenyataan sebagai sesuatu yang permanen atau nisbi?
Bila realitas hanya dipahami sebagai kenyataan [sosial] saja dan kita memahami bahwa kita tidak bisa lepas dari realitas sosial itu, sedangkan kenyataannya realitas sosial itu sesuatu yang terbatas, sesuatu yang empirikal, material, dimensional, maka pada saat itu juga kita sudah masuk dalam pikiran materialistik. Struktur pengetahuan kita, sampai kapan pun juga materialis. Kita beragama, agama kita materialis.
Sifat ideologi materialis adalah mempriorkan simbolisasi dan mengingkari substansi. Dalam kitab suci disebutkan bahwa yang namanya surga adalah sebuah tempat yang di dalamnya ada sungai-sungai susu dan madu, pepohonan rindang yang berbuah lebat. Bagi warga Timur Tengah, penggambaran surga seperti itu mungkin sudah luar biasa karena tanah mereka gersang dan tidak ada sungai yang jernih.
Sedangkan bagi warga Nusantara, penggambaran surga semacam itu tidak luarbiasa karena alam Nusantara memang elok nian. Apabila realitas dipahami sebagai kenyataan empiris saja, maka kita pasti sudah tersungkur dalam ideologi materialisme. Begitu pun, ketika anda naik haji atau ziarah ke Yerusalem, tahajud atau kebaktian, ke masjid atau gereja, semua ibadah itu adalah ibadah materialis. Ketika ibadah itu dilakukan, maka pasti ada yang struktur penzaliman bagi orang lain.
Kita tidak boleh peduli dengan struktur teologi yang dipakai seseorang untuk membenarkan perilaku sosial jahatnya. Tapi mengapa masih banyak kalangan yang tidak bisa memisahkan perilaku keagamaan dengan nilai ajaran itu sendiri? Karena struktur pengetahuannya tidak tertata dengan utuh. Biasanya kerancuan berpikir (logic fallacy) terjadi karena tidak terbiasa mengasah logika dan ogah mengkaji filsafat.
Bentuk pengaburan realitas inilah yang mesti kita bongkar. Seolah-olah pencitraan langit karena kesalehan individual sudah cukup menutupi perilaku zalimnya di masyarakat buruh. Yang menghambat kita melakukan pembongkaran karena realitas-realitas langit itu dianggap lebih nyata daripada realitas sosialnya. Padahal penguasa modal berjubah kesalehan itu sendiri adalah makhluk material, kasat mata, dan bukan sebentuk hologram. Yang tidak terbiasa dilakukan oleh banyak kalangan adalah memposisikan secara bijak suatu realitas yang terukur dengan realitas lain yang tidak terukur.
Berarti realitas tidak hanya berkenaan dengan kenyataan, yang terbatas, berdimensi, dsb. Realitas punya makna selain kenyataan. Sesuai dengan asal katanya, real-itas, riil, maka realitas juga punya arti keberadaan. Keberadaan bermakna lebih luas dari kenyataan. Kenyataan hanya mengacu pada dimensi material, sedangkan keberadaan mengacu pula pada wilayah non-material.
Artinya realitas itu sesuatu yang tidak terbatasi oleh alam materi saja, namun juga meliputi alam-alam non-material. Tentu saja munculnya pengetahuan didahului oleh kesadaran subjek akan objek luar dan kemenyatuan dengan objek luar tersebut. Mustahil kita bisa mengetahui ada tembok di hadapan kita bila tidak ada kesadaran kita subjek dan tembok objek sebagai dua hal yang berbeda. Selanjutnya kehadiran tembok tidak akan bermakna ketika kita tidak memahami konsekuensi adanya tembok di hadapan kita yaitu terhalanginya kita untuk melangkah ke depan atau tempat lain.
Artinya, kesadaran itu akan melahirkan pada tindakan, apakah tembok itu kita diamkan begitu saja, atau kita robohkan, atau kita mencari alternatif jalan lain. Sistem pengetahuan ini akan menyadarkan kita tentang keterkaitan antara alam satu dengan yang lainnya. Sebuah benda material yang dicerai-beraikan belum tentu terlihat keberadaannya, apalagi benda non-material. Namun kita sadari bahwa tidak ada alam yang terputus atau terpisah secara tegas.
Begitu pun dengan buruh. Buruh bisa menyikapi manajemen perusahaan yang tidak menganggap buruh sebagai aset sebagai bagian dari takdir Tuhan. Atau disikapi secara individual agar bisa meraih kedudukan istimewa di mata atasan (baca: injak buruh yang lebih di bawah dan jilat yang di atas). Atau kesalahan sistem itu disikapi sebagai sinyal pembongkaran sistem lama dan penggantian dengan sistem perburuhan yang lebih manusiawi. Opini tiap buruh bisa berbeda-beda dengan perusahaan dan mengisyaratkan adanya perpecahan internal. Dengan keberadaan serikat, dialektika di antara sesama buruh bisa dilokalisir dan buruh selalu punya sikap politik yang solid.
Membungkus Isu
“Great acts are made up of small deeds.” (Tindakan besar tersusun dari tindakan-tindakan kecil) (Lao Tzu, 600 - 531 SM).
Kesadaran adalah efek dari eksistensi/realitas/keberadaan/wujud. Ada keberadaan yang dimensional, ada pula yang non-dimensional. Keberadaan yang dimensional terbatas. Seluruh pengetahuan yang berkonsepsi pada hal ini, niscaya terbatas. Sedangkan keberadaan non-dimensional, ada yang terbatas dan ada pula yang tak terbatas. Non-dimensional yang terbatas, seperti partikel dan gelombang, hakikatnya sama saja dengan keberadaan yang dimensional, tidak mungkin dijadikan prinsip, yakni titik akhir dari struktur pengetahuan yang membuat kita berkonsekuensi akhir, hidup atau mati. Karena prinsip harus universal, maka ia mengacu pada sesuatu yang sederhana.
Perjuangan buruh cenderung hilang momentum di tengah-tengah masyarakat, padahal ia merupakan kelas signifikan dalam sebuah negara, karena ketidakpiawaian dalam membungkus isu. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan merangkaian isu mana yang universal dan mana yang partikular. Petani, nelayan, mahasiswa, PNS, pemuda, dan pelajar tidak mungkin diajak demo tentang outsourcing dan pekerja kontrak bila serikat buruh tidak membungkus dengan isu yang lebih universal sehingga menjadi kebutuhan dan kepentingan bersama.
Ketidakmampuan membahasakan isu tersebut ternyata bukan sekadar masalah biasa atau tidak biasa, tapi lebih mendasar lagi, yaitu kemampuan melihat ruang permainan politik yang lebih luas. Bahwa buruh itu besar dari segi jumlah, iya. Tapi kenyataan pula bahwa serikat buruh krisis SDM sehingga daya ledaknya dalam setiap aksi massa tidak semeriah seminar penjaja intelektualitas di hotel-hotel berbintang.
Selain itu, isu universal yang mereka mainkan masih kalah ciamik dengan isu-isu politik lokal karena isu tersebut tidak didasari oleh tendensi teologis. Saat ini isu teologi hanya dipakai untuk kampanye pilkada dan alat legitimasi rezim. Tapi sesungguhnya nilai-nilai teologi jauh lebih luhur dan mendukung perjuangan kaum tertindas.
Agama menjadi milik elit dan golongan tertentu, bukan lagi barang milik rakyat. Karena hegemoni yang intens, kalangan awam pun takut menggunakan idiom agama dalam setiap aksinya. Akibatnya, nilai-nilai perjuangan buruh pun didikotomikan dengan nilai-nilai keagamaan. Perjuangan buruh dilabeli selalu bernilai komunis dan anti Tuhan. Inilah yang membuat perjuangan buruh berbeda-beda dan cenderung sulit akur karena mendramatisir masalah dirinya.
Perjuangan manusia sepanjang hayat adalah mencapai kemerdekaan. Dan perjuangan selalu membutuhkan pengorbanan. Batas akhir pengorbanan adalah kemenangan atau kematian. Kematian di jalan kebenaran, membela nilai-nilai kemanusiaan adalah kematian yang agung. Pelakunya adalah martir, syahid. Tujuan akhir hidup manusia adalah mati dalam kondisi peduli dan membela nasib kaum tertindas, di mana buruh adalah mayoritasnya.
Manusia punya empat tipe perjalanan hidup: 1] ada yang awal hidupnya buruk, akhirnya berubah menjadi baik, 2] ada yang awalnya buruk akhirnya pun buruk, 3] ada yang awalnya baik, di akhir hidupnya buruk, 4] ada pula yang awalnya baik dan akhirnya pun baik. Kita ingin akhir hidup kita di tipe manusia yang keempat itu, awal dan akhir yang baik (***)


Saturday, March 14, 2009

PROGRAM KERJA

Revisi UU 13 tentang Ketenagakerjaan

Tingkatan Pendidikan dan Keterampilan Buruh dan Pekerja Jawa Barat

Mendorong Terciptanya lapangan Kerja Baru

Perjuangkan Rumah Sehat dan Layak untuk Pekerja dengan Subsidi Uang Muka

Buruh Berhak Berserikat dan Mengikuti JAMSOSTEK

DUKUNG

DUKUNG

BURUH SEJAHTERA

BURUH SEJAHTERA

LELAH

LELAH

MAJU PANTANG MUNDUR

MAJU PANTANG MUNDUR

PULANG

PULANG

BERSAMA BURUH PABRIK DALAM LOMBA GERAK JALAN K3

BERSAMA BURUH PABRIK DALAM LOMBA GERAK JALAN K3
Foto bersama sesaat setelah tim putri Helios dinyatakan Juara 1

KERJA LEMBUR

KERJA LEMBUR

MENGGALI SEJARAH

MENGGALI SEJARAH

KAMI DUKUNG BUNG !!!

KAMI DUKUNG BUNG !!!

BHAKTI SOSIAL IISIP JAKARTA

BHAKTI SOSIAL IISIP JAKARTA